Mau Beli Minyak Goreng atau Beli Mereknya

Tuesday, February 10, 2009      0 komentar

Harga minyak sawit mentah alias crude palm oil CPO) sudah melorot tajam. Idealnya, penurunan harga CPO diikuti penururnan produk turunannya seperti minyak goreng. Namun, kenapa harga goreng murah masih jauh dari panggang api? Bisnis minyak memang enak dan semaunya sendiri.

Sejatinya, inilah saatnya minyak goreng murah. Lihatlah tren harga bahan baku utama minyak goreng, yakni minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO), yang semakin murah.

Harga CPO di Bursa Berjangka Malaysia memang sempat mencapai US$ 835,5 per ton pada Rabu (4/2/2008) lalu. Namun, kalau dihitung harga rata-rata CPO cuma US$ 512,82 per ton sepanjang awal tahun 2009. Harga ini masih rendah ketimbang harga rata-rata CPO di bursa yang sama, yang mencapai US$874,49 per ton sepanjang tahun lalu.

Sayang, harga minyak goreng seolah anteng, hingga pekan ini. Coba saja lihat pajangan minyak goreng di Carrefour Kramat Jati, Jakarta. Dari beragam merek yang tersaji, minyak goreng rata-rata masih bertengger di harga Rp 10.000 per liter. Misalnya saja Filma isi 2 liter yang dipasangi label harga Rp 20.775. Lalu, Sania isi 2 liter harganya Rp 20.275

Harga di gerai ritel modern lain juga relatif seragam. Minyak goreng Bimoli 2 liter harganya berkisar Rp 20.675 hingga Rp 21.975. Sementara itu, Filma 2 liter harganya Rp 20.400 hingga Rp 20.775

Harga di Pasar Palmerah pun sami mawon. Harga Bimoli 2 liter di posisi Rp 22.000. "Harganya cukup stabil," tutur Eno, seorang pedagang. Eno bilang, minyak goreng murah cuma minyak goreng curah. Harga minya goreng curah berada di kisaran antara Rp 7.000 per liter hingga Rp 8.000 per liter.

Kurs Bikin Mahal

Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, untuk memproduksi minyak goreng, biaya pembelian CPO mencapai 85% dari total biaya. Baru sisanya merupakan biaya energi, gaji karyawan, depresiasi, dan bunga bank.

Namun, yang membuat minyak goreng ogah turun adalah, "Kami membeli pakai dollar, sementara rupiah melemah. Jadi tetap mahal," tutur Sahat.

Dollar? Agak aneh juga, mengingat Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia. Dan, CPO itu juga tidak pergi ke mana-mana alias ada di dalam negeri saja, yang alat tukar resminya pakai rupiah.

Tetap tingginya harga minyak goreng itu jelas membuat gerah pemerintah. Maklum, pemerintah berkepentingan segera menurunkan kebutuhan pokok seiring dengan melorotnya harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar.

Pemerintah pun terpaksa ikut "bermain" di minyak goreng dengan menjual minyak goreng curah kemasan Minyakita, seharga Rp 6.000 per liter

Tapi, Minyakita tetap tidak mampu menggoyang tingginya minyak goreng kemasan. PT Indofood Sukses Makmur Tbk, misalnya. Produsen Bimoli ini tetap bertahan menaruh harga Rp11.000-an per liter.

Menurut Wakil Direktur Utama Indofood Franciscus Welirang, harga Bimoli saat ini sudah wajar. Sebab, "Ada nilai merek yang terkandung dalam produk Bimoli sehingga harganya tidak tergantung pada harga komoditas," dalih dia.

Produsen minyak goreng Filma dan Kunci Mas, PT Sinar Mas Agro Resources Tbk, mengaku sudah menurunkan harga semaksimal mungki. "Kalau sebelumnya Rp 28.000 per liter, sekarang menjadi sekitar Rp 20.000 - Rp 21.000," ujar Octavianus Geuther, Asisten Wakil Presiden Hubungan Perusahaan dan Komunikasi Sinar Mas. Padahal, produsen kini tak lagi menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) sebesar 10%.

Bagi Sinar Mas, penghapusan PPN-DTP itu bukan masalah. Demi meningkatkan omzet, perusahaan ini ikut nimbrung di Minyakita. Sinar Mas menargetkan bisa memproduksi minyak goreng murah ini sebanyak 100.000 liter perbulan.

Tercium Aroma Kartel

Rupanya Komisis Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) sudah mencium aroma kartel harga minyak goreng berlabel. "Dengan menurunnya harga CPO sementara harga minyak goreng tidak turun, apa lagi namanya kalau bukan indikasi adanya kartel?" sahut Tresna P.Soemardi, Komisioner KPPU.

Menurut dia, produsen minyak goreng tidak transparan dalam menjelaskan struktur biaya. Ini yang membuat KPPU sulit menilai harga wajar minyak goreng di pasar. Sebagai tindak lanjut, KPPU berniat memanggil delapan produsen minyak goreng berlabel besar untuk menjelaskan struktur biaya nya.

Asal tahu saja, produksi minyak goreng nasional mencapai 5 juta ton tahun lalu. Sebanyak 71%-nya dikuasai delapan perusahaan swasta; yakni Grup Wilmar Internasional (19%), Grup Musim Mas (19%), Grup Sinar Mas (11%), Grup Sungai Budi (5%) Grup PT Perkebunan (5%), Grup Berlian Ekasakti (5%) Grup Raja Garuda Mas (4%) dan Grup Salim (3%)

Menurut KPPU, produsen seharusnya cuma mengutip untung 5% sampai 20% dari penjualan minyak goreng. Dengan margin segitu, harga minyak goreng curah bisa terpangkas Rp 1.000 dari Rp 7.000 per liter jadi Rp 6.000 per liter. Adapun minyak goreng berlabel bisa turun dari Rp 11.000 per liter jadi Rp 9.000 per liter. KPPU menduga, keuntungan produsen sekarang mencapai 30%.

Bila ada bukti pelanggaran, KPPU bakal menjatuhkan sanksi pada produsen minyak goreng kemasan. Bila tidak terbukti, KPPU akan memeriksa pengecer.

Produsen sendiri menampik dugaan KPPU. Namun, Franciscus siap memberi keterangan. Octavianus juga membantah. "Kompetisinya besar sekali, tidak mungkin terjadi monopoli," ujar dia. tapi Oligopoli mungkin saja terjadi.

Kontan No.18-XII-Februari 2009

0 komentar: